Kamis, April 10, 2008

dima bumi dipijak disinan langik dijujuang

DI MA BUMI DIPIJAK DI SINAN LANGIK DIJUNJUANG:
Kelenturan Masyarakat Minang Bergaul
Dengan Lingkungan Baru

Oleh: Drs. Misnal Munir, M. Hum*

Mengembara, berpindah tempat tinggal untuk mencari penghidupan yang lebih baik yang disebut merantau merupakan salah satu aktifitas manusia sejak jaman dahulu. Sebab kalau manusia tidak memiliki naluri ini, maka barangkali manusia hanya akan bertumpuk di padang Arafah, tempat Adam dan Hawa bertemu. Namun demikian dalam sejarahnya hanya beberapa saja dari kelompok manusia itu yang kemudian masih memiliki kebiasaan merantau dengan alasan yang berbeda.
Sejarah mencatat bangsa yang dianggap sebagai perantau ulung adalah bangsa Bani Israil yang artinya berjalan malam hari. Kemudian adalah bangsa Cina yang tersebar di Asia. Sedangkan untuk bangsa Indonesia ada beberapa etnis yang juga memiliki tradisi merantau ini, antara lain etnis Bugis, Madura, dan tentu saja urang awak yang dikenal dengan sebutan orang “Padang”. Di sini disebut orang Padang, karena pada umumnya masyarakat Indonesia lebih mengenal nama Padang daripada Minang, mungkin karena orang Minang yang membuka usaha Rumah Makan menulis Masakan Padang sebagai ciri khas menunya, bukan masakan Minangkabau atau Minang. Pepatah yang mengungkapkan tentang budaya merantau ini adalah:
karatau madang di hulu
Babuah babungo balun
Marantau bujang dahulu
Di rumah paguno balun

Tulisan ini tentu saja tidak akan memaparkan tentang rumah makan Padang, tetapi yang akan menjadi topik atau tema tulisan ini adalah bagaimana orang Minang menempatkan diri dalam bergaul dengan masyarakat di mana ia merantau. Tema ini menjadi menarik untuk dibicarakan karena selama ini atau sepanjang sejarah merantaunya orang Minang belum pernah membikin kampung Minang, atau terlibat konflik dengan masyarakat tempat ia merantau. Di ranatu orang Minang selalu tinggal berpencar oleh karena itu selalu muncul paguyuban orang Minang di rantau. Kalau dicermati rasanya belum pernah ada orang Minang yang diusir dari rantau secara massal sebagaimana yang pernah terjadi pada salah satu etnis di negara Indonesia ini. Pertanyaannya adalah kenapa orang Minang dalam merantau jauh dari konflik kesukuan, bahkan kalau diamati, orang Minang bahkan mendatangkan kedamaian dan ketentraman dengan saudara barunya, selain itu juga menghidupkan perekonomian untuk kepentingan bersama.
Sebagai orang yang memiliki adat, orang Minang memiliki pepatah-petitih yang secara apriori menjadi pegangan hidupnya. Salah satu pepatah yang sangat erat kaitannya dengan kemampuan beradaptasi adalah “di ma bumi dipijak di sinan langik dijunjuang”, makna dari pepatauh ini adalah di mana kita hidup hendaknya menyesuaikan diri dengan aturan main atau adat istiadat setempat. Namun demikian tidak berarti orang Minang adalah yang gampang terpengaruh oleh kebiasaan yang tidak sesuai dengan keyakinan yang telah dianutnya. Di ma bumi dipijak di sinan langik dijunjuang hanya sejauh yang berkaitan dengan sopan-santun adat istiadat setempat dan bukan mengenai agama. Seawam-awamnya orang Minang tentang agama ia tidak akan mengganti agama Islam yang telah dianutnya dengan agama lain, kalau ada orang Minang yang berganti agama maka ia adalah sebodoh-bodohnya orang Minang, dan menurut adat dia bukan orang Minang lagi, karena pepatah mengatakan: Adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah (Al Quran).
Salah satu pepatah lain yang juga menjadi acuan apriori bagi orang Minang dalam hidupnya, dan ini terbawa ketika ia merantau adalah: manyauak di hilia-hilia, kok bakato di bawah-bawah. Pepatah ini memberikan acuan bahwa dalam hidup bersama jangan sekali-kali bersikap sombong dan angkuh dalam bergaul. Kesombongan dan keangkuhan hanya akan mendatangkan sikap tidak senang dari orang lain, apalagi penduduk asli, dengan bekal ini orang Minang pandai membawakan diri dalam bergaul dengan orang lain. Selain itu dalam bergaul orang Minang juga harus cerdas dan “tanggap ing sasmito”. Pepatah Minang mengatakan:
Alun pai lah babaliak
Sabalun rabah lah kaujuang
Alun dibali lah tajua
Sabalun dimakan lah baraso
Mangana awa dengan akhia
Mangingek mudharat jo manfaat

Tahu diangin nan basaruik
Tahu dialamaik kato sampaik
Alun bakilek lah bakalam
Tahu dirantiang nan ka mancucuak
Sarato dahan nan ka maimpok
Sarato hereang jo gendeang

Maka dengan pepatah tersebut di atas orang Minang akan berhati-hati dalam bergaul dan dapat memperkirakan sejauh mana perkataan dan tindak tanduknya dapat menyakiti hati orang lain yang dapat berakibat merugikan terhadap dirinya.
Selain harus pandai membawakan diri dalam lingkungan di perantauan dan bersikap hati-hati dalam berkata dan bertindak, orang Minang dalam hidup bersama dengan saudara barunya juga menaati aturan main yang telah ditetapkan. Orang Minang yang cerdik dan pandai harusnya dapat menaati aturan yang telah menjadi aturan masyarakat setempat, pepatah mengatakan:
Nan babarih nan bapahek
Nan baukua nan bakabuang
Curiang barih buliah diliek
Cupak panuah gantang babuang
Barih tak buliah dilampaui
Cupak indak buliah dilabihi

Pepatah ini mengajarkan bahwa dalam hidupnya manusia hendaklah memathui aturan main yang telah disepakati apabila menginginkan hidup damai, tenteram dan selamat.
Dari uraian singkat di atas, maka orang Minang di rantau dapat hidup sukses dan dapat hidup damai dengan “tetangga” barunya apabila ia masih tetap memegang adat. Adalah satu anggapan yang keliru jika ada yang mengatakan bahwa pepatah petitih ada hanya berlaku di alam Minangkabau saja. memang harus diakui pula bahwa ada adat salingka nagari, namun lebih banyak pula adat yang dapat berlaku di mana pun orang Minang berada sebagai pegangan hidupnya. Hal ini ditegaskan oleh papatah Alam takambang jadi guru, ungkapan ini juga didukung oleh papatah Hiduik baraka mati bariman. Akhirnya makna akulturasi bagi orang Minang adalah hidup berbaur dengan bangsa dan etnis manapun tanpa harus kehilangan identitas ke-Minangkabau-annya.
Limbago hiduik di nagari urang, kata Buya Hamka adalah:
Bakato di bawah-bawah,
Manyauak di hilia-hilia,
Rantiang urang dipatah,
Sumua urang digali,
Adat urang diisi,
Ibu cari, sanak cari,
Induak samang cari dahulu,
Indak ado parang nan indak damai,
Indak ado sangketo nan indak habih.
Duduak samo randah, tagak samo tinggi,
Kalau cadiak indak manjua,
Kalau binguang indak tajua.

Kiranya kalau pengajaran ini tetap dipegang teguh oleh orang Minang di perantauan, siang dipatungkek, malam dipakalang, maka Insya Allah di manapun orang Minang merantau maka ia akan hidup tenteram, damai serta sukses dalam mancari hiduik. Selamat merantau, jan lupo jo pituah rang gaek.
Wallahua'lam bisawwab.

*Penulis adalah Pembantu Dekan III Fak. Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Rujukan
HAMKA, Islam dan Adat Minangkabau, Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1984.
Hakimy Dt. Rajo Penghulu, Idrus, Pokok-pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994.
Naim, Mochtar, Merantau Pola Migrasi Minangkabau, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1984.
Nasroen, M. Dasar Falsafah Adat Minangkabau, Jakarta: Penerbit Pasaman, 1957.
Navis, A.A., Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau, Jakarta: Grafiti Press, 1994.

Senin, Maret 31, 2008

ratok mak enggi: representasi kegundahan laki-laki minang

mungkin lah banyak nan mandanga kaset ko....angku yus datuak parpatiah yo sabana lihai mambaokan, kalau tepatnyo gala budayawan tu diagiahkan ka angku yus datuak parpatiah bukan ka urang lain...iko nan sabana budaya yang baliau caritokan disampiang pitaruah ayah nan legendaris tu.

katik

woooooooooooooi urang kampuang, masuak kamari ah................